Oleh: Choirul Anam
Mudik bukan sekadar tradisi tahunan. Ia adalah sebuah panggilan pulang, sebuah ritual yang lebih dalam dari sekadar kembali ke kampung halaman. Setiap Lebaran, jutaan orang berbondong-bondong menempuh perjalanan panjang, berdesakan di terminal, mengantre tiket kereta, atau bermacet-macet ria di jalan tol yang seperti lautan kendaraan. Ada yang rela menempuh perjalanan berjam-jam, bahkan berhari-hari, demi satu tujuan: pulang.
Tapi pernahkah kita merenungkan, mengapa mudik terasa begitu sakral? Apakah ini sekadar kebutuhan sosial atau ada sesuatu yang lebih esensial di dalamnya? Jika ditarik lebih jauh, mudik bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin. Bahkan, pada akhirnya, seluruh perjalanan hidup kita adalah mudik sejati—mudik kepada Allah.
Mudik: Pulang ke Kampung Halaman, Pulang ke Kenangan
Mudik adalah kembalinya seseorang ke tanah kelahirannya, tempat ia tumbuh dan belajar mengenal dunia. Bagi banyak orang, kampung halaman bukan sekadar tempat, tetapi ruang penuh kenangan, wajah-wajah yang pernah akrab, dan bau rumah yang tak tergantikan. Kita pulang bukan hanya untuk bertemu keluarga, tapi juga untuk menyapa kembali masa lalu, mengisi ulang energi dari akar yang telah lama ditinggalkan.
Dalam konteks sosial, mudik adalah cermin dari keterikatan manusia dengan akar budaya dan nilai-nilai kekeluargaan. Emile Durkheim, sosiolog klasik, menyebut bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk kembali kepada komunitas asalnya karena di sanalah ia menemukan makna dan identitas. Tak heran, meskipun ongkos mudik mahal, meskipun lelah dan macet, orang tetap menjalaninya dengan penuh semangat.
Namun, seiring waktu, kampung halaman berubah. Rumah yang dulu hangat, kini terasa lebih sepi. Wajah-wajah tua semakin berkurang, digantikan oleh generasi baru yang mungkin tidak lagi mengenal kita seakrab dulu. Inilah ironi mudik: semakin sering kita pulang, semakin kita sadar bahwa yang kita rindukan bukan hanya tempat, tetapi juga waktu yang tak bisa kita genggam kembali.
Mudik Sejati: Perjalanan Kembali kepada Allah
Jika dipikirkan lebih dalam, hidup ini sendiri adalah perjalanan pulang. Kita semua adalah pemudik yang sedang dalam perjalanan panjang menuju kampung akhirat. Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan:
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
(Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita kembali) (QS. Al-Baqarah: 156).
Ayat ini sering kita dengar saat ada musibah atau kematian. Tapi sejatinya, ini adalah pengingat bahwa seluruh hidup kita adalah proses mudik—perjalanan kembali kepada Sang Pencipta. Jika mudik Lebaran adalah momentum pulang ke kampung halaman, maka kematian adalah kepulangan sejati ke rumah yang sesungguhnya.
Dalam Islam, kehidupan ini digambarkan sebagai perjalanan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Jadilah engkau di dunia ini seperti seorang musafir atau orang yang sekadar singgah di bawah pohon.” (HR. Bukhari). Kita hanya mampir di dunia, seperti perantau yang bekerja di kota, menunggu saatnya pulang ke kampung halaman yang lebih abadi.
Bekal Mudik yang Sesungguhnya
Sama seperti mudik ke kampung halaman membutuhkan persiapan—mulai dari tiket, bekal makanan, hingga kondisi kendaraan—mudik ke akhirat juga memerlukan bekal yang cukup. Bukan dalam bentuk uang atau harta, tetapi amal dan kebaikan.
Dalam Islam, ada konsep zad atau bekal perjalanan. Sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”
Ini mengingatkan kita bahwa perjalanan menuju Allah bukan sekadar tentang umur panjang atau pencapaian duniawi, tetapi tentang bagaimana kita mengisinya dengan kebaikan. Sama seperti orang yang mudik ingin membawa oleh-oleh untuk keluarganya, kita pun harus menyiapkan “oleh-oleh” berupa amal baik yang akan kita bawa saat menghadap Allah.
Sufi besar, Jalaluddin Rumi, pernah berkata:
“Jangan puas hanya menjadi air sungai. Jadilah laut yang luas. Karena semua sungai akhirnya bermuara ke laut.”
Ini mengajarkan kita bahwa hidup ini adalah proses menuju sesuatu yang lebih besar. Kita lahir ke dunia, mengembara mencari makna, lalu pada akhirnya kita harus kembali kepada yang menciptakan kita.
Kesimpulan: Mari Bersiap untuk Mudik yang Hakiki
Mudik Lebaran adalah pengingat bahwa sejatinya kita semua sedang dalam perjalanan pulang. Jika perjalanan ke kampung halaman saja membutuhkan persiapan yang matang, bagaimana dengan perjalanan yang lebih panjang, yang tidak ada tiket pulangnya, yang tidak bisa diundur atau ditunda?
Maka, selagi masih diberi waktu, mari kita siapkan bekal mudik kita. Kita luruskan niat, perbaiki amal, dan jalin kembali hubungan baik dengan sesama, sebagaimana kita ingin pulang ke kampung halaman dengan hati yang damai. Karena pada akhirnya, tujuan akhir kita bukanlah rumah di desa, bukan pula kampung halaman, tetapi rumah abadi di sisi Allah.
Selamat mudik, selamat pulang—baik ke rumah di dunia, maupun kelak ke rumah yang sejati.
*) Penulis adalah Choirul Anam Ketua PAC GP Ansor Kecamatan Balen Kabupaten Bojonegoro. Choirul Anam merupakan penulis opini aktif di jagatsembilan.com