Oleh: H. Musaffa Safril Ketua PW Ansor Jawa Timur
Setiap tanggal 2 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Batik Nasional sebagai peneguhan atas identitas dan kebanggaan budaya yang telah diakui dunia. Batik tidak sekedar kain bergambar indah. Ia adalah bahasa visual yang menyampaikan nilai-nilai kehidupan, doa, filosofi, dan sejarah panjang bangsa. Di setiap motifnya terjalin makna mendalam tentang hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesamanya.
Namun, di balik keelokan batik yang kita kenakan dengan bangga, terdapat cerita perjuangan sunyi para pengrajin batik tradisional yang tidak selalu seindah motif karyanya. Mereka adalah penjaga warisan leluhur yang bekerja dengan ketekunan luar biasa. Goresan demi goresan canting yang mereka ukir lebih dari hanya sekedar pekerjaan, tetapi juga bentuk pengabdian pada budaya bangsa. Sayangnya, pengabdian itu kerap belum terbayar setimpal dengan kesejahteraan yang mereka terima.
Antara Cinta Budaya dan Realitas Hidup
Sebagian besar pengrajin batik tulis hidup dalam keterbatasan. Mereka bekerja berjam-jam untuk menghasilkan satu lembar batik yang bernilai seni tinggi, tetapi hanya memperoleh penghasilan yang jauh dari layak. Rantai distribusi yang panjang dan minimnya akses pasar membuat nilai ekonomi batik tidak kembali sepenuhnya ke tangan penciptanya. Banyak pengrajin yang bertahan bukan karena batik menjanjikan kemakmuran, melainkan karena cinta yang mendalam terhadap warisan budaya.
Situasi ini mengingatkan kita pada tantangan utama pelestarian batik: bagaimana kecintaan pada tradisi dapat berjalan seiring dengan kesejahteraan hidup para pelestarinya. Jika tidak ada upaya serius untuk menjawab tantangan ini, maka lambat laun jumlah pengrajin batik tulis akan menyusut, dan warisan yang begitu berharga itu terancam kehilangan penerusnya.
Batik sebagai Jalan Kemandirian
Momentum Hari Batik Nasional 2025 seharusnya menjadi titik balik untuk menata ulang strategi pelestarian batik, bukan hanya dari sisi budaya, tetapi juga dari aspek ekonomi. Batik harus dipandang bukan sekadar warisan yang harus dijaga, tetapi juga sebagai jalan kemandirian ekonomi bagi para pengrajin dan komunitas di sekitarnya.
Untuk itu, diperlukan kebijakan dan langkah nyata yang berpihak pada pengrajin. Pemerintah dapat memperkuat peran koperasi batik, menyediakan akses pembiayaan mikro, dan memberikan pelatihan kewirausahaan. Di sisi lain, pelaku industri dan sektor swasta perlu dilibatkan dalam menciptakan rantai nilai yang adil dan berkelanjutan. Dengan demikian, para pengrajin dapat memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam ekosistem industri batik.
Generasi muda juga perlu dilibatkan secara aktif. Anak-anak pengrajin harus diyakinkan bahwa melanjutkan usaha batik bukanlah jalan menuju keterbatasan, tetapi justru peluang menuju kemajuan jika dikelola secara kreatif dan inovatif. Regenerasi ini penting agar keterampilan membatik tidak berhenti di satu generasi saja.
Akses Pasar dan Digitalisasi
Di era digital, tantangan utama batik bukan hanya produksi, tetapi juga pemasaran. Banyak pengrajin batik tradisional yang masih bergantung pada pasar lokal atau tengkulak karena keterbatasan akses dan literasi digital. Padahal, teknologi membuka peluang besar untuk memperluas jangkauan pasar hingga ke level global.
Platform e-commerce, media sosial, dan marketplace internasional dapat menjadi jembatan penting antara pengrajin dan pembeli. Dukungan pelatihan digital marketing, pendampingan pembuatan konten, dan fasilitasi ekspor perlu diperkuat. Lebih dari itu, branding batik tulis sebagai karya eksklusif bernilai tinggi harus digencarkan. Pembeli perlu disadarkan bahwa membeli batik tulis berarti membeli keunikan, cerita, dan nilai budaya yang tak tergantikan oleh mesin.
Masa Depan Batik: Antara Pelestarian dan Inovasi
Batik akan tetap hidup jika ia mampu menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diri. Motif-motif klasik perlu dilestarikan, namun inovasi desain, teknik pewarnaan ramah lingkungan, dan kolaborasi dengan desainer kontemporer menjadi kunci agar batik tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Batik juga harus kembali pada fungsi hakikinya sebagai ekspresi nilai, bukan sekadar busana seragam atau cendera mata. Dengan pemaknaan yang lebih dalam, penghargaan terhadap batik akan tumbuh, dan kesejahteraan pengrajin akan meningkat.
Penutup
Hari Batik Nasional 2025 bukan hanya perayaan simbolis terhadap masa lalu, tetapi juga momentum untuk merancang masa depan. Batik tidak boleh berhenti sebagai simbol budaya, melainkan harus menjadi sumber kemandirian ekonomi dan kebanggaan kolektif.
Kita berkewajiban memastikan bahwa para pengrajin tidak hanya dikenang sebagai penjaga warisan, tetapi juga dihargai sebagai pelaku ekonomi kreatif yang menopang peradaban bangsa. Karena batik adalah identitas. Ia adalah kisah. Ia adalah masa depan. Dan masa depan itu hanya akan terwujud jika kita semua bersungguh-sungguh menjaga, mengembangkan, dan memberdayakan mereka yang menciptakannya.