Oleh : M. Taufiq Asyhuri
Ketua MWCNU Trucuk Bojonegoro
Jagad perpolitikan mulai menghangat seiring dengan dekatnya Pesta Demokrasi Lima Tahunan di Indonesia, tepatnya tahun 2024 yang sering disebut banyak orang sebagai tahun politik.
Salah satu tokoh yang diidolakan baik oleh muslim nahdliyyin maupun selain nahdliyyin dan bahkan komunitas non muslim adalah KH. Abdurrahman Wahid, Presiden ke empat di Republik ini yang sering disebut atau dipanggil Gus Dur.
Nama Gus Dur seringkali dibawa-bawa oleh kelompok minoritas ketika konflik dengan mayoritas umat Islam. Kegigihan Gus Dur membela hak-hak kemanusiaan dan kewarganegaraan minoritas non muslim dan non NU, kadang membuat mereka ke-geer-an.
Sebagaimana lazimnya tokoh NU, Gus Dur selalu bersikap proporsional. Membela hak-hak kemanusiaan dan kewarganegaraan kelompok minoritas bukan berarti Gus Dur mengakui, menerima, mengamalkan, mengajarkan dan mendakwahkan ajaran-ajaran dari kelompok minoritas.
Kelompok-kelompok minoritas tidak bijaksana, ketika mempolitisasi sikap humanis dan kenegarawan Gus Dur. Gus Dur dihadap-hadapkan dengan umat Islam yang lain. Digiring seolah-olah di mata orang awam, Gus Dur membenarkan ajaran-ajaran dari mereka.
Gus Dur bukan dalil pembenar dari ajaran kelompok-kelompok minoritas. Jika ajaran dari kelompok-kelompok minoritas itu benar, maka Gus Dur telah lama meninggalkan keislaman dan menanggalkan ke-NU-annya.
Yang benar adalah bahwa Gus Dur dalil bagi kita untuk melindungi hak-hak kemanusiaan dan kewarganegaraan kelompok-kelompok minoritas. Tidak lebih dari itu.
Sampai akhir hayatnya, Gus Dur seorang muslim dan nahdliyin. Gus Dur tidak pernah menjadi Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, Ahmadiyah atau Syi’ah.
Sampai hari ini belum ditemukan seorang figur yang mewarisi sikap, sifat dan pemikiran Gus Dur. Tidak sebagian apalagi semuanya. Mungkin itulah salah satu penyebab Gus Dur diangkat menjadi salah satu kekasih Allah.
Lahu al fatihah..