Home / Ekonomi & Bisnis / Headline / Opini

Minggu, 19 Januari 2025 - 21:25 WIB

Catatan dari Vietnam: Masa Depan Bojonegoro Bergantung Pada Pembangunan Pertanian dan Industri Agro 

Ketua Dewan Direksi Chanh Viet (Chavi) Company, Nguyen Van Hien, Kader Ademos, A Shodiqurrosyad dan Prof. Endang Warsiki dari IPB University saat sedang berkunjung ke Chavi Garden yang dikembangkan oleh Chanh Viet (Chavi) Company.

Ketua Dewan Direksi Chanh Viet (Chavi) Company, Nguyen Van Hien, Kader Ademos, A Shodiqurrosyad dan Prof. Endang Warsiki dari IPB University saat sedang berkunjung ke Chavi Garden yang dikembangkan oleh Chanh Viet (Chavi) Company.

Oleh : Kader Sinau Bareng Ademos, A Shodiqurrosyad

Untuk menjadi negara yang berdaulat pangan tidaklah mudah. Kedaulatan pangan sebuah negara dapat diwujudkan jika pemerintahnya memiliki konsistensi kebijakan dan komitmen kuat. Setidaknya itulah pengalaman Vietnam. Keberhasilan Vietnam menjadi negara berdaulat pangan telah terbukti dengan Vietnam menjadi eksportir beras terbesar nomor tiga dunia setelah India dan Thailand. Tidak hanya berhenti di situ. Meskipun dalam kondisi panas ekstrem akibat El Nino, produksi beras di Vietnam pada 2023 meningkat 1- 2% dibandingkan 2022. Dikutip dari Nikkei Asia, Bea Cukai Vietnam menyebut produksi beras Vietnam mencapai lebih dari 43 juta ton. Artinya Vietnam telah berhasil mengembangkan pertaniannya dengan baik.

Pengetahuan tersebut yang setidaknya penulis dapatkan dari selama seminggu lebih (29 Juli – 5 Agustus 2024) melakukan field trip di Vietnam yang menjadi bagian dari rangkaian kegiatan Summer Course Program 2024 yang dilaksanakan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) dan diikuti dosen dan mahasiswa IPB, Universitas Jenderal Soedirman, Universiti Putra Malaysia dan Nong Lam University Vietnam.

Apabila ditarik pada konteks lokal, Bojonegoro yang menjadi kota asal penulis telah sejak lama dikenal sebagai lumbung pangan nasional. Branding tersebut cukup beralasan. Berdasarkan data statistik Dinas Pertanian Bojonegoro, lahan sawah Bojonegoro seluas 84.465 ha, lahan irigasi 35.182 ha dan lahan tadah hujan 48.012 ha dengan jumlah petani lebih dari 190 ribu orang. Artinya baik Vietnam maupun Bojonegoro memiliki kesamaan dalam hal potensi pertanian yang cukup baik. Vietnam mampu menjadi eksportir beras, sedangkan menurut data statistik pertanian BPS tahun 2022 Bojonegoro berhasil surplus produksi beras sebesar 270.530 ton per tahun. Vietnam dan Bojonegoro juga sama-sama memiliki sungai yang menjadi penopang utama pertaniannya. Jika Vietnam Sungai Mekong yang mengalir ke Laut China Selatan di selatan Kota Ho Chi Minh (sebelumnya Bernama Saigon), maka Bojonegoro memiliki Bengawan Solo yang membentang dari Bojonegoro barat hingga Bojonegoro timur.

Keberhasilan Vietnam membangun sektor pangan tidak lepas dari peristiwa Doi Moi yang dianggap sebagai revolusi ekonomi baru Vietnam. Setelah perang Vietnam, hasil produksi beras Vietnam sempat mengalami stagnasi selama periode 1976-1980, bahkan pada masa itu Vietnam pernah mengalami kekurangan pangan yang menyebabkan kelaparan dan dampak lainnya baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik. Sejak peristiwa Doi Moi pada tahun 1986, Vietnam perlahan-lahan bangkit dari keterpurukan dan kemiskinan. Telah banyak yang menulis peristiwa Doi Moi. Anda dapat membacanya dari berbagai literasi dan media.

Doi Moi sangat berkontribusi terhadap peningkatan produktivitas pertanian dan kualitas produksi, yang berdampak secara signifikan terhadap kondisi ketahanan pangan nasional Vietnam. Hingga akhirnya Vietnam menjadi eksportir beras terbesar dunia. Namun capaian tersebut tidak lantas membuat Vietnam berpuas diri. Mereka berupaya untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian mereka dengan mendorong akademisi, pengusaha dan petani untuk mengembangkan industri agro (agroindustry) yang mampu mengolah hasil pertanian Vietnam. Seperti yang dilakukan Chanh Viet (Chavi) dan Green Food Company berikut.

Chavi Company telah berhasil mengubah lahan tidak subur dengan keasaman (pH tanah) rendah di distrik Ben Luc, Provinsi Long An. Lahan seluas lebih dari 150 hektar mereka sulap menjadi perkebunan jeruk nipis tanpa biji terbesar di Vietnam berkat penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pertanian organik dan memenuhi standar kualitas Eropa. Jeruk nipis tersebut kemudian diolah menjadi sebagai produk kemasan lime juice, lime powder dan lime essential oil dan telah diekspor ke berbagai negara Eropa, Jepang, India, dll.

Begitu juga dengan Green Food Company yang terletak di Distrik Cu Chi, Kota Ho Chi Minh. Tangan dingin Dang Thị Yen, CEO Green Food telah berhasil memroses hasil pertanian dan perkebunan Vietnam menjadi lebih dari 32 jenis produk minuman alami. Salah satu poin penting Green Food adalah hasil pertanian yang mereka proses semuanya berasal dari Vietnam. Hal ini bisa mereka lakukan karena mereka tidak hanya bergantung pada satu jenis komoditas pertanian. Hasil pertanian yang mereka olah disesuaikan dengan musim panen (seasonal stocks). Jika sedang musim panen nanas, mereka akan mengolah nanas, jika sedang musim panen markisa mereka akan mengolah markisa, jika yang panen adalah aloe vera, mereka akan mengolahnya, dan seterusnya. Strategi adaptive terhadap ketersediaan komoditas pertanian lokal tersebut dilakukan karena Green Food memiliki komitmen yang tinggi untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian lokal dengan menjadi perusahaan yang adaptif dengan musim panen pertanian Vietnam.

Baca Juga  Pembangunan RSK Onkologi Bojonegoro Terkendala, DPRD Soroti Kinerja Rekanan dan Keterlibatan Tenaga Kerja Luar Daerah

Selain kedua perusahaan tersebut, penulis bersama professor dan mahasiswa Indonesia diajak Konsulat jenderal Indonesia di Ho Chi Minh City, Agustaviano Sofjan berkunjung ke Mylan Group yang terletak di Provinsi Tra Vinh yang berjarak sekitar 142,5 km dari Kota Ho Chi Minh (waktu tempuh dari Ho Chi Minh ke Tra Vinh sekitar 3,5 jam menggunakan kendaraan darat). Di Mylan, kita dipandu langsung oleh founder dan owner Mylan Gorup, Dr. Nguyen Thanh My. Selama lebih dari 5 jam kita diperlihatkan untuk melihat teknologi akuakultur dan pertanian yang sedang ia kembangkan dengan mengintegrasikan sains dan teknologi canggih di dalamnya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk dari implementasi atas komitmen Vietnam dalam mengembangkan pertanian emisi nol bersih (Net Zero) pada tahun 2050.

Vietnam memang berkomitmen menjadi negara dengan pertanian yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Nguyen Thanh My salah satu ilmuan yang mendukung komitmen pemerintah tersebut dengan mengembangkan teknologi TOMGOXYTM Intensive Shrimp Farm yang dianggap lebih efisien dari teknologi roda kayuh (paddle wheel). Menurut pemilik lebih dari 700 hak paten dari Vietnam tersebut, paddle wheel technology sangat tidak efisien karena membutuhkan banyak energi dan biaya sehingga ia mengembangkan teknologi TOMGOXYTM Intensive Shrimp Farm yang lebih efisien dan ramah lingkungan dan pengoperasionalannya cukup melalui smartphone.

Pengalaman berharga yang penulis dapatkan dari Vietnam tersebut tentu menjadi pembelajaran yang menarik jika dikaitkan dengan konteks Bojonegoro, kabupaten yang menjadi lumbung pangan nasional. Menjadi wilayah yang sama-sama memiliki surplus pangan, nyatanya pertanian Bojonegoro masih sangat tertinggal jauh dari apa yang dilakukan distrik-distrik di Vietnam. Dari segi pemenuhan irigasi pertanian, Sungai Mekong memiliki banyak kanal sungai di Vietnam sehingga dampaknya bisa sangat luas. Dikutip dari situs Konsulat Jenderal Indonesia di Ho Chi Minh City, terdapat ratusan sungai dan kanal melintasi kota Ho Chi Minh yang berada di Vietnam Bagian Selatan dekat dengan delta Mekong. Selain itu Vietnam juga benar-benar memaksimalkan produktivitas lahannya dengan baik hingga mendorong petani, akademisi dan pengusaha untuk mengolah lahan yang tidak subur menjadi lahan yang produktif.

Sementara itu, Bojonegoro baru merencanakan pembuatan sodetan Bengawan Solo untuk meningkatkan produktivitas pertanian di kawasan tengah hingga selatan Bojonegoro. Upaya peningkatan produktivitas lahan juga belum menemukan strategi yang tepat dan konkret.

Ditarik sedikit pada aspek agroindustri, Bojonegoro sangat tertinggal jauh dengan distrik Ben Luc, Provinsi Long An dan Distrik Cu Chi, Kota Ho Chi Minh. Kedua distrik tersebut telah berhasil meningkatkan nilai tambah terhadap hasil pertaniannya. Sedangkan di Bojonegoro belum memiliki industri yang mampu memroses hasil pertaniannya. Kita sebut saja salah satu komoditas pertanian Bojonegoro yang produktivitasnya cukup besar, yaitu pisang. BPS merilis produksi pisang Bojonegoro pada tahun 2023 sebesar 1.174.061 kw. Namun belum ada pabrik pengolahan pisang yang beroperasi di Bojonegoro. Belum lagi hasil pertanian lain, seperti jagung, singkong, hortikultura yang juga menjadi komoditas pertanian yang cukup besar yang belum didukung oleh industri pemrosesan di Bojonegoro.

Baca Juga  PC IPNU IPPNU Tuban Peringati HSN dengan Kompetisi Olahraga dan Seni

Dalam hal beras, Vietnam memiliki mampu memproduksi berasnya menjadi mie, beras kertas (rice paper), dan komoditas pangan yang lain. Walau khusus pada produk mie, penulis menganggap itu bukah hanya soal kemampuan. Penulis yakin mereka sangat mampu. Namun ini lebih tentang komitmen yang mana jika mereka memproduksi mie dengan bahan baku terigu maka perlu melakukan impor. Vietnam sepertinya sangat menyadari itu sehingga dalam membuat mie mereka menggunakan beras sebagai bahan baku utama, komoditas pertanian mereka yang surplus. Sedangkan Bojonegoro yang juga mengalami surplus beras cukup besar tidak berupaya mengolahnya menjadi produk bernilai tambah lebih tinggi. Hal ini bisa jadi dikarenakan permintaan beras domestik sangat tinggi sehingga tidak perlu melakukan pengolahan. Namun juga dapat dimaknai sebagai minimnya inovasi dan terobosan yang dilakukan.

Pertanian dan Industri Agro sebagai Masa Depan Bojonegoro

Secara anggaran, Bojonegoro merupakan kabupaten kaya. Pada tahun 2024, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Bojonegoro ditargetkan mencapai Rp 8,2 triliun. Hal ini dapat terjadi karena Bojonegoro dikaruniai kekayaan sumber daya alam, berupa minyak dan gas bumi (migas) yang melimpah. Lebih dari seperempat produksi migas nasional berasal dari Bojonegoro. Penjabat (Pj) Bupati Bojonegoro Adriyanto mengatakan sekitar 30 persen pendapatan dalam APBD Bojonegoro dari Dana Bagi Hasil (DBH) Migas. Artinya Bojonegoro menghadapi tantangan pembangunan yakni risiko ketergantungan terhadap penerimaan dari sektor migas, baik dari DBH Migas yang ditransfer pusat sebagai dana perimbangan, maupun sektor-sektor lain yang tergantung pada industri migas. Sementara, pendapatan migas bersifat volatil–karena dipengaruhi oleh volatilitas harga dan produksi.

Padahal Bojonegoro juga memiliki potensi non migas yang cukup besar, baik pertanian maupun lahan hutan yang luasnya mencapai 94.397 hektar atau sekitar 40% dari luas wilayah Bojonegoro. Terlepas dari isu lingkungan, sebagian lahan hutan di Bojonegoro juga telah difungsikan masyarakat untuk pertanian sehingga berkontribusi terhadap peningkatan produktivitas hasil panen pertanian daerah. Artinya Bojonegoro memiliki material yang sangat besar untuk dapat diolah dengan sentuhan sains dan teknologi dalam konsep industry pengolahan hasil pertanian (agroindustry).

Untuk meningkatkan produktivitas pertaniannya, Bojonegoro juga perlu membuat langkah yang berani dalam membangun ekosistem dan infrastruktur pertaniannya. Wacana tentang kanalisasi Bengawan Solo yang sudah digaungkan sejak lama perlu keberanian untuk mengeksekusinya sehingga mampu meningkatkan produktivitas pertanian di Bojonegoro bagian tengah hingga selatan. Selain itu, modernisasi system dan peralatan pertanian yang mengintegrasikan sains dan teknologi yang mulai dilakukan. Pembangunan industri agro juga akan menjadi langkah yang tepat untuk menciptakan jaringan rantai pasok (supply chain) dan pasar komoditas pertanian lokal serta menjadi ekosistem inovasi pertanian masa depan.

Dengan Pemilukada serentak yang sudah dilakukan di Bojonegoro bersama daerah lain di seluruh Indonesia pada akhir tahun tahun 2024 kemarin, Penulis berharap Kepala Daerah terpilih nanti mampu melepaskan ketergantungan Bojonegoro terhadap sektor migas. Jika Bupati Bojonegoro terpilih nanti bersedia membangun ekosistem, infrastruktur dan industri yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian Bojonegoro dan meningkatkan nilai tambah (value added) hasil pertaniannya, maka Bojonegoro akan menjadi daerah yang memelopori peningkatan nilai tambah hasil pertanian dan mampu membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.

Share :

Baca Juga

Headline

Penyerahan Rekom NasDem Kepada Ana Mu’awanah Diwarnai Walk Out Kadernya

Headline

Ganjar Milenial Center Bojonegara Tebar Benih Ikan Nila

Headline

Dirangkai dengan Syukuran HUT RI ke 79, Harlah PN Gasmi Mlaten ke 7 Berlangsung khitmat

Headline

Cetak Generasi Handal, Kwarran Gerakan Pramuka Gondang Gelar Jambore Ranting

Headline

Bersinergi, LPBINU Sampaikan Bibit Pohon dan Kirim Relawan Bantu Penanaman Pohon

Opini

PERCAYA (KEMBALI) PADA TAKDIR

Headline

KPU Bojonegoro Akui Terima Informasi, Setyo Wahono – Nurul Azizah Daftar Bacabup-Bacawabup Besok

Headline

Puluhan Relawan Jonegoro Ayem beserta Sayap Pemenangan Wahono-Nurul Hadiri Temu Akbar