Home / Opini

Minggu, 9 Februari 2025 - 09:58 WIB

Aklamasi, Reklamasi, dan Efisiensi: Sebuah Drama Absurd di Negeri Antah Berantah

Oleh: Choirul Anam

Di sebuah negeri antah berantah, tiga sahabat—Aklamasi, Reklamasi, dan Efisiensi—duduk bersama di sebuah warung kopi sambil membahas nasib mereka. Ketiganya sering disebut-sebut dalam pidato pejabat dan diskusi cendekiawan, tetapi mereka merasa sering disalahpahami.

“Aku yang paling sering dibanggakan,” kata Aklamasi, menyeruput kopinya dengan bangga. “Setiap pemilihan pemimpin, mereka bilang aku adalah simbol persatuan. Padahal, aku lebih sering jadi alat untuk menyingkirkan lawan tanpa perlu repot debat atau pemungutan suara.”

Reklamasi tertawa pahit. “Ah, itu mah kecil. Aku lebih sering disanjung sebagai solusi atas keterbatasan ruang. Tapi kenyataannya? Aku malah dijadikan alasan untuk menguruk laut, menggusur nelayan, dan membangun perumahan mewah yang entah untuk siapa.”

Efisiensi hanya menghela napas. “Kalian beruntung masih sering disebut-sebut. Aku? Aku cuma jadi jargon. Pemerintah dan korporasi sering mengatasnamakan aku, tapi yang terjadi malah pemotongan anggaran kesehatan, PHK massal, dan proyek infrastruktur yang katanya hemat, tapi hasilnya miring.”

Tiga sahabat ini pun mulai mengobrol serius, mengurai satu per satu masalah yang mereka hadapi di negeri antah berantah.

Aklamasi: Kesepakatan atau Pemaksaan?

Aklamasi awalnya adalah konsep yang indah. Bayangkan, sebuah keputusan bisa diambil tanpa perdebatan sengit, tanpa ada pihak yang merasa kalah. Idealnya, aklamasi adalah bentuk kesepakatan bersama yang muncul secara alami karena semua orang benar-benar setuju.

Tapi di negeri antah berantah, aklamasi lebih sering terjadi karena alasan yang sangat sederhana: tidak ada pilihan lain.

Ambil contoh pemilihan ketua organisasi atau bahkan pemimpin daerah. Sering kali, hanya ada satu kandidat yang maju. Bukan karena semua orang sepakat, tetapi karena yang lain sudah mundur sebelum bertanding, entah karena takut, malas berhadapan dengan sistem yang tidak adil, atau memang sudah ‘diarahkan’ untuk tidak mencalonkan diri.

Laporan dari Institute of Democratic Governance menunjukkan bahwa dalam banyak organisasi dan pemerintahan di negara berkembang, lebih dari 40% pemilihan dilakukan secara aklamasi. Tapi, dari angka itu, sebagian besar bukan karena semua setuju, melainkan karena pesaingnya sudah ‘disingkirkan’ sebelum bertanding.

Baca Juga  Sahabat Koheren dan Smash Badminton

Aklamasi yang ideal adalah kesepakatan, tapi di negeri antah berantah, aklamasi lebih sering menjadi cara untuk melanggengkan status quo.

Reklamasi: Solusi atau Masalah Baru?

Reklamasi adalah upaya memperluas daratan dengan cara menguruk laut atau rawa. Secara teori, ini adalah solusi untuk keterbatasan lahan. Singapura sudah melakukannya sejak lama dan sukses menambah luas daratannya hingga lebih dari 100 kilometer persegi sejak tahun 1960-an.

Namun, di negeri antah berantah, reklamasi lebih sering menjadi proyek ambisius yang ujung-ujungnya menyusahkan rakyat kecil.

Misalnya, proyek reklamasi di pesisir ibu kota yang awalnya dijanjikan untuk kepentingan umum, tetapi pada akhirnya justru menjadi kawasan elite dengan apartemen mewah dan pusat perbelanjaan yang tak terjangkau oleh masyarakat kebanyakan. Studi dari Walhi menunjukkan bahwa banyak proyek reklamasi justru menyebabkan banjir lebih parah karena mengganggu aliran air alami.

Yang lebih ironis, nelayan yang tinggal di daerah tersebut akhirnya terpaksa pindah karena laut yang selama ini menjadi tempat mereka mencari nafkah sudah berubah menjadi pulau buatan yang dijaga satpam.

Jadi, apakah reklamasi itu solusi atau masalah? Jawabannya tergantung siapa yang mendapatkan manfaatnya. Jika hanya segelintir orang yang untung sementara banyak yang dirugikan, maka reklamasi bukan lagi pembangunan, melainkan perampasan berkedok kemajuan.

Efisiensi: Hemat atau Menyengsarakan?

Efisiensi selalu terdengar keren di pidato pejabat dan presentasi perusahaan. “Kita harus lebih efisien!” begitu katanya.

Namun, di negeri antah berantah, efisiensi sering kali diterjemahkan sebagai pemotongan anggaran yang asal-asalan.

Misalnya, demi “efisiensi anggaran”, rumah sakit negeri mengurangi jumlah tenaga medis, tapi dampaknya antrean pasien mengular hingga berjam-jam. Demi efisiensi birokrasi, pemerintah memangkas pegawai, tapi akibatnya pelayanan publik jadi makin lambat.

Di sektor swasta, efisiensi sering kali berarti “menekan biaya produksi”—terjemahan kasarnya: gaji pekerja tidak naik, beban kerja bertambah, dan bosnya tetap kaya raya.

Baca Juga  Menjauhi Perdebatan: Memilih Damai di Pilkada Bojonegoro 2024

Laporan dari International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa kebijakan efisiensi yang diterapkan tanpa perhitungan matang justru meningkatkan tingkat stres dan menurunkan produktivitas pekerja dalam jangka panjang.

Ironinya, di negeri antah berantah, anggaran untuk proyek-proyek “efisiensi” ini justru membengkak. Konsultan dibayar mahal untuk memberikan solusi efisiensi, tapi hasil akhirnya malah lebih boros daripada sebelumnya.

Tiga Serangkai dalam Satu Meja

Kembali ke warung kopi, Aklamasi, Reklamasi, dan Efisiensi terdiam sejenak.

“Jadi, kita ini pahlawan atau penjahat?” tanya Reklamasi, sambil mengaduk kopinya.

“Tergantung siapa yang menggunakan kita,” jawab Efisiensi. “Di tangan yang benar, kita bisa membawa manfaat besar. Tapi di tangan yang salah, kita bisa jadi alat untuk kepentingan segelintir orang.”

Aklamasi mengangguk. “Aku bisa jadi alat demokrasi sejati atau sekadar formalitas belaka. Kau bisa memperluas wilayah dengan bijak atau sekadar melayani investor. Dan kau, Efisiensi, bisa membuat segalanya lebih baik atau malah jadi alasan untuk memangkas kesejahteraan rakyat.”

Mereka pun menatap langit negeri antah berantah yang semakin mendung.

“Yah, pada akhirnya, kita hanya konsep,” kata Efisiensi. “Yang membuat kita baik atau buruk adalah mereka yang mengendalikan kita.”

Dan seperti itulah cerita di negeri antah berantah: di mana aklamasi bisa jadi kedok monopoli kekuasaan, reklamasi bisa jadi perampasan terselubung, dan efisiensi bisa jadi pemiskinan yang dikemas rapi.

Maka, pertanyaannya sekarang: apakah negeri kita adalah negeri antah berantah?

Share :

Baca Juga

Headline

Pemenang Pemilukada Bojonegoro Kelak Adalah Calon yang Rajin Silaturohim

Headline

Belajar dari Gunungkidul: Panen Air Hujan untuk Masa Depan Bojonegoro

Opini

Pancasila Dalam Perspektif Negara & Perspektif Agama

Headline

PESANTREN DAN POLITIK

Opini

Kembalikan Keadilan yang Robek

Opini

Komunikasi Politik Jokowi

Opini

Selamat Memimpin Bojonegoro, Harapan Dan Doa Terbaik Dari Kaum Santri

Opini

Pengaruh Debat Terhadap Pemilih Kalangan Pesantren