Home / Opini

Senin, 5 Mei 2025 - 11:06 WIB

MENGINGAT KEMBALI MAKNA KEHIDUPAN IDEAL

Oleh : Ibnu Khakim, M.HI *)

Suasana sedang tidak baik-baik saja, ungkapan ini lalu lalang di laman sosial media kita, baik berupa narasi, puisi atau video, Indonesia sedang berada di ambang krisis yang menggerogoti berbagai aspek kehidupan—ekonomi, politik, lingkungan, hingga sosial. Dengan menggali lebih dalam ekonomi Indonesia, yang pernah digadang-gadang sebagai salah satu yang terkuat di Asia Tenggara, kini tengah menghadapi tekanan berat. Pandemi COVID-19 yang melanda dunia selama lebih dari dua tahun telah memperparah kondisi ekonomi yang sudah rapuh. Meski pemerintah telah mengumumkan berbagai paket stimulus untuk meredam dampak pandemi, hasilnya masih jauh dari memuaskan.

Pertumbuhan ekonomi yang lambat, peningkatan angka pengangguran, serta ketimpangan yang semakin melebar menjadi gambaran nyata dari krisis ini. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai sekitar 4,5%, jauh dari target yang dicanangkan pemerintah. Sementara itu, angka pengangguran meningkat drastis, terutama di kalangan anak muda yang semakin sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Krisis ekonomi ini juga diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah untuk mengelola utang negara yang terus membengkak. Utang luar negeri Indonesia kini mencapai lebih dari 30% dari PDB, sebuah angka yang mengkhawatirkan. Beban utang yang semakin berat ini mengancam stabilitas ekonomi jangka panjang dan mempersulit ruang fiskal untuk melakukan pembangunan yang lebih merata.

Selain krisis ekonomi, Indonesia juga tengah menghadapi ketidakstabilan politik yang tak kalah serius. Di satu sisi, demokrasi di Indonesia masih terbilang muda, baru sekitar dua dekade berjalan setelah era Reformasi. Namun, selama kurun waktu tersebut, kita menyaksikan berbagai dinamika politik yang tidak selalu mengarah pada penguatan demokrasi, melainkan sebaliknya.

Baca Juga  Komunikasi Politik Jokowi

Polarisasi politik yang semakin tajam, terutama jelang pemilu, telah memperburuk situasi. Partai-partai politik yang seharusnya menjadi wakil rakyat, sering kali lebih mementingkan kepentingan kelompok atau individu tertentu. Politik identitas juga kerap dimainkan untuk meraih dukungan, meski hal ini justru merusak tatanan sosial yang telah dibangun dengan susah payah.

Di sisi lain, korupsi yang merajalela semakin memperparah krisis ini. Menurut Transparency International, indeks persepsi korupsi Indonesia berada pada peringkat yang memprihatinkan. Kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi negara dan politisi semakin sering terungkap, namun penanganannya sering kali setengah hati. Ini menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas korupsi.

Penggalan narasi diatas menjadi bahan berita yang terus dikelola dan ditampilkan, sehingga mempengaruhi psikologi pembaca dan pemirsa. Sebagai orang beragama, bagaimana sebenarnya hidup Sejahtera yang ideal ? terkait hal ini pernah Rasul Saw bersabda : “ Dari ’Ubaidillah bin Mihshan Al Anshary dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR. Tirmidzi) dan sebuah Hadits dari Al Abbas Ad-Duri menceritakan kepada kami, Abdullah bin Yazid Al Muqri menceritakan kepada kami, Haiwah bin Syuraih mengabarkan kepada kami, Abu Hani Al Khaulani mengabarkan kepadaku, bahwasanya Abu Ali Amr bin Malik Al Janbi mengabarkan kepadanya, dari Fadhalah bin U’baid. Dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Beruntunglah orang yang telah diberikan petunjuk kepada Islam, kehidupannya tercukupi, dan ia memiliki sikap qana’ah.” (HR. Ibnu Majah). Sayyidina Ali membeberkan kepada kita makna taqwa yang terbentang dalam empat hal yaitu; Bahwa taqwa adalah takut kepada Allah yang bersifat Jalal, dan beramal dengan dasar al-Qur’an (at-tanzil) dan menerima (qona’ah) terhadap yang sedikit, dan bersiap-siap menghadapi hari akhir perlihan (hari akhir).

Baca Juga  Pesantren, Pelestari Agama dan Budaya

Sebagai orang yang beriman akan kebenaran Islam, bersikap dan bergaya hidup sederhana adalah ajaran, bukan sekedar pilihan, melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan, andaipun berhutang untuk menambah modal, kiranya juga mempertimbangan dari sumber mana kita bisa mengangsur hutang tersebut, ngoyo (bertindak melampaui batas) bukan hal yang bijak, toh, jika hanya untuk mencari sepiring nasi saja, kenapa harus terjebak dan tergiur dengan angan-angan dan peng_andaian yang masih semu. Bersyukur dengan apa yang ada, serta bersabar dengan yang belum ada, terus berusaha dan berdoa, menyempatkan bersilarturohim dan bercanda dengan tetangga dan handai taulan sambil menanti waktu sholat tiba adalah resep untuk mendapatkan kehidupan yang ideal, kehidupan dalam suasana sehat, ibadah terjaga, dan pikiran tidak terlalu banter serta angah-angah, karena sejatinya begitulah Rasul Saw menuntun kita dan demikian pulalah sikap para Kyai dan Ulama kita.

 

*) Penulis_Ibnu Khakim, M.HI, adalah intelektual muda, Instruktur PBNU, Dosen dan Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Raudlatul Muslimin yang berdomisili Desa Sumberarum Kec. Ngraho Kab. Bojonegoro, Aktif di jagatsembilan.com

Share :

Baca Juga

Opini

Aklamasi, Reklamasi, dan Efisiensi: Sebuah Drama Absurd di Negeri Antah Berantah

Headline

Mudik Kita, Mudik Bangsa: Pulang yang Sesungguhnya

Headline

Refleksi Hari Guru : Peran Guru Mengentas Kemiskinan Dan Memberantas Korupsi

Opini

Ternyata Liburan, Suko Pari Suko Juga Diperlukan Para Kyai

Headline

Ganjar Maju Meneruskan Perjuangan Jokowi! 

Opini

Dekengan Rakyat Atau Kegenitan Politik

Headline

Strategi Borong Partai, Cara Culas Memenangi Pilkada

Ekonomi & Bisnis

Sambu Group dan Republik: Nyanyian Harapan yang Tak Lekang Zaman